HOMESCHOOLING QINDY ACADEMY

Sekilas tentang HOMESCHOOLING

Homeschooling Qindy Academy
Homeschooling adalah proses layanan pendidikan solusif yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dimana proses pembelajaran itu dapat berlangsung secara kondusif dengan tujuan dapat mengasah pola pikir, potensi, bakat dan minat masing-masing anak. Dengan Homeschooling akan tercipta situasi yang nyaman dan aman sehingga anak tidak mendapat tekanan dan menjadikan proses pembelajaran menjadi sebuah beban. Homeschooling Qindy Academy menerapkan pendekatan Multiple Intelligences yang dapat membantu anak meraih impian dan menjadi bintang sesuai bidangnya. Dikarenakan setiap anak unik, memiliki gaya belajar dan kecerdasan yang berbeda maka kami mendesain program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Tujuan Homeschooling
a.Menjamin penyelesaian pendidikan dasar dan menengah yang bermutu bagi peserta didik yang berasal dari anak dan keluarga yang memilih jalur homeschooling.

b. Menjamin pemerataan dan kemudahan akses pendidikan bagi setiap individu untuk proses pembelajaran akademik dan kecakapan hidup.

c.Melayani peserta didik yang memerlukan pendidikan akademik dan kecakapan hidup secara fleksibel untuk meningkatkan mutu kehidupannya.

Alasan Homeschooling

Banyak alasan anak dan orang tua memilih homeschooling diantaranya :

a. Menyediakan pendidikan moral dan karakter

b. Memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik dan menyenangkan.

c. Adanya keterbatasan waktu karena aktifitas tertentu, seperti individu-individu yang bergerak dibidang entertainment (artis, model, pelukis, penari dll) dan bidang olahraga (atlet).

d.       Memberikan kehangatan dan proteksi khususnya untuk anak-anak yang berkebutuan khusus dan cacat.

e. Menghindari penyakit sosial seperti bullying dan Narkoba.

f. Mempunyai pengalaman trauamatik di sekolah

g. Tidak cocok dengan sistem pendidikan formal seperti model pembelajaran, kurikulum yang padat dan waktu.

 

4.  Kelebihan Homeschooling

·       Lebih memberikan kemandirian dan kreativitas kepada individu

·       Memberikan peluang untuk mencapai kompetensi individual semaksimal mungkin sehingga tidak harus mengikuti standar kompetensi dan ketuntasan belajar yang ditentukan oleh rata-rata kelas

·       Lebih terlindungi dari penyakit sosial seperti bullying, narkoba, tawuran, dan pergaulan bebas.

·       Bersosialisasi dengan segala usia

·       Lebih disiapkan untuk kehidupan yang nyata

·       Lebih didorong untuk melakukan kegiatan keagamaan, rekreasi, dan olahraga dengan keluarga

·       Membantu anak lebih berkembang, memahami dirinya dan perananya dalam dunia nyata

·       Memberikan suasana yang akomodatif untuk belajar demokrasi : berpendapat, menolak pendapat dan menyepakati nilai-nilai tertentu tanpa harus takut mendapat celaan dan tekanan

·       Memberikan peluang untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman sebaya di luar jam belajar

·       Mempunyai kebebasan dalam mengatur jam belajar sehingga individu bisa memilih aktifitas yang sesuai dengan bakat-bakatnya : bidang hiburan, olahraga, kursus keterampilan  hidup lainnya.

Orientasi Para Peserta Homeschooling

Berdasarkan orientasi yang dimiliki homeschoolers dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

Homeschooler berorientasi ijasah

Secara umum sebagian besar homeschooler masih menginginkan ijasah untuk melanjutkan pendidikan kesatuan pendidikan yang lebih tinggi, dimana lembaga pendidikan tersebut mensyaratkan ijazah kepada calon siswa. 

 

Homeschooler berorientasi non ijazah atau berorientasi kepada kecakapan hidup

Homeschooler yang berorientasi kecakapan hidup, adalah homeschooler yang berkeyakinan bahwa ijazah bukanlah syarat untuk sukses dalam kehidupan.  Biasanya homeschooler yang berorientasi kepada kecakapan hidup telah menemukan karir atau profesi yang mereka inginkan, diantaranya seniman, artis, model, disainer, penulis, fotografer, dan lain-lain. 

 
Menjadi Orang Tua Homeschoolers

Untuk menjadi orang tua homeschoolers, ada dua persayaratan utama yang perlu dipenuhi :

a. Mempunyai komitmen yang kuat sebagai partner belajar anak.

·                                 Membantu anak dalam membuat jadwal belajar

·                                 Membantu anak dalam monitoring pembelajaran anak

b. Mempunyai kemauan untuk terus belajar dan belajar mengenai hal-hal :

·       Memahami keunikan anak

·       Metode- metode pembelajaran yang cocok bagi anak

·       Membuat rencana pembelajaran dan mendesain kurikulum

·       Isi matapelajaran yang akan dipelajari anak

·      Bakat dan minat anak, serta pelatihan kecakapan hidup yang sesuai dengan anak.

 

Untuk menjadi seorang guru, setiap individu tidak harus mengikuti perkuliahan di bidang keguruan.  Pada dasarnya setiap orang tua mempunyai potensi dan naluri untuk mengajar, tinggal bagaimana potensi naluri ini dilatih atau dimunculkan kembali dengan berbagai cara :

  • Mengikuti seminar atau pelatihan orang tua
  • Sharing dengan orang tua yang lain
  • Sharing  dan diskusi dengan praktisi pendidikan
  • Mau belajar dengan membaca buku-buku atau mengkases informasi-informasi yang perlu tentang pendidikan dari internet.  
Kemudian, untuk mengajarkan pelajaran yang dianggap sulit seperti matematika, fisika, kima, ekonomi dan akuntansi SMU, orang tua yang mengalami kesulitan bisa mendatangkan tutor ke rumah.

Nggak cocok dengan sekolah formal HOMESCHOOLING aja...

Sebenarnya kenapa sih banyak yang memilih homeschooling?
Pada dasarnya orang tua dan anak yang memilih homeschooling adalah karena mereka tidak cocok dengan sekolah formal. Tidak cocoknya itu beragam:
1. Kurikulum di sekolah formal terlalu padat
percaya atau nggak anak-anak belajar lebih dari 8 mata pelajaran di sekolah, belum lagi text book dan work book yang lumayan tebal. Dan sebagian anak ada yang tidak cocok dengan model seperti ini, dan mereka ingin lebih fokus, jika demikian adanya homeschooling adalah pilihan yang tepat.
2. Aturan yang terlalu ketat
Sebagian homeschoolers merasa ada aturan yang terkadang kurang bisa dirasionalisasikan, misalnya harus memakai sepatu warna hitam. Terlambat datang dihukum dengan hukuman yang kurang pas untuk dunia pendidikan.
3. Jam belajar yang terlalu banyak
Kalau jam belajar banyak dan diantara pembelajar ada yang kurang bermakna atau gagal dimaknakan oleh guru, maka anak akan merasa jenuh, kalau sudah begitu memilih jam belajar yang fleksibel dengan berhomeschooling jadi pilihan alternatif yang sesuai
4. sistem yang terkadang kaku
beberapa sekolah cendrung mempunyai sistem yang kaku misalnya, untuk masuk jurusan IPA maka anak harus mendapat rata-rata nilai bidang IPA diatas 7, padahal kalau satu bidang saja yang kurang ari tujuh juga masih memungkinkan anak untuk tetap di jalurnya
5. masalah kesehatan sehingga tidak bisa absen dalam kurun waktu yang lama
sekolah tidak memberi toleransi untuk istirahat lebih dari satu bulan (biasanya) karena tidak memnuhi standar proses
6. Sekolah menjadikan anak yang seragam
Sekolah jarang menghargai keunikan masing2 anak, semua anak dididik untuk mempunyai kemampuan yang seragam. yaitu harus bisa menyelasikan standar ketuntasan belajar. Bagaimana nasib anak-anak yang bersuara emas tapi kurang mahir matematika, atau pintar IPA dan matematika tapi kurang menguasai kesenian?
7. Pergaulan Sosial (Narkoba, pergaulan bebas dan Tawuran)
sebagian orang tua ingin mendidik anaknya di rumah atau tempat alternatif yang diinginkan, dengan harapan terjauh dari pergaulan sosial yang kurang baik seperti tawuran, narkoba dan pergaulan bebas.

HOMESCHOOLING : Pendidikan Berbasis Keluarga dan Alam

Pagi nan cerah, seorang anak kecil berumur 7 tahun tergopoh-gopoh menyeret tas sekolahnya yang lebih mirip koper. Budi, panggil saja namanya Budi -karena dulu disekolah ibunya yang diajarkan adalah Ini Budi- masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Akan tetapi kalau kita bedah isi tasnya, alamak beragam buku teks berjejal menempati ruang-ruang dalam tas mulai dari Budi pekerti, agama, IPA, IPS, Bahasa Inggris, jauh berbeda dengan zaman ketika saya masih sekolah dulu ketika hanya belajar membaca, berhitung dan menulis ketika masih kelas 1 dan kelas 2 SD. Penderitaan Budi tidak hanya sekedar muatan pelajaran yang terlalu berat untuk anak seusianya, namun juga kehilangan waktu bermain yang begitu berharga. Betapa tidak, selepas dari sekolah Budi mengikuti berbagai kegiatan yang telah dipilihkan oleh ayah dan bunda mulai dari les piano, bahasa inggris, karate, dan matematika. Selepas maghrib didatangkan pula guru privat kerumah untuk membantu Budi agar nilainya lebih tinggi dari ketuntasan belajar yang ditentukan sekolah atau biasa dikenal dengan istikah KKM.
Penggalan kisah diatas boleh jadi merupakan potret buram pola pendidikan di tanah air. Muatan kurikulum yang padat mulai dibebankan dari siswa pada level rendah yang masih haus dengan dunia bermain. Kemudian, pendidikan di sekolah lebih diarahkan pada pencapaian nilai-nilai akademik yang menuntut setiap siswa mempunyai kompetensi yang sama, sehingga terjadilah penyeragaman kecerdasan. Sedikit sekali ruang yang menunjukan institusi pendidikan di tanah air menghormati perbedaan kecerdasan, bakat dan minat yang dimiliki anak. Padahal setiap Individu itu adalah unik dan memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Meminjam istilah Multiple Intelligences Howard gardner, setiap anak mempunyai kecerdasan majemuk dengan porsi yang berbeda-beda. Namun sayangnya sedikit sekali sekolah yang menghargai perbedaan tersebut, dan telah memberi kontribusi besar dalam menumpulkan bahkan mematikan kretaifitas dan daya imaji anak-anak.
Lebih jauh lagi, pendidikan yang diterapkan di sebagian besar sekolah kurang mengoptimalkan potensi dan kearifan lokal. Anak petani di karawang, anak pengrajin keramik di plered, anak pengrajin batik di pekalongan, dan anak nelayan di pesisir jawa mendapatkan muatan pendidikan yang seragam. Sehingga, anak-anak ini tidak akrab dengan potensi lokal mereka dan tidak mampu melakukan eksplorasi mendalam tentang kekayaan alam mereka.

Saatnya mengembalikan makna sejati pendidikan serta mengelola kembali pendidikan berbasis keluarga dan alam
Pendidikan adalah sebuah proses yang mengantarkan insan pembelajar menjadi manusia dewasa dan mulia. Pendidikan membantu individu untuk mampu berpikir dan bertindak atas pilihannya yang bijak dan arif yang senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur mereka. Makna sejati pendidikan ini bisa diwujudkan apabila pendidikan yang dilaksanakan berbasis kepada keluarga dan alam dan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mendewasakan dan memuliakan diri mereka sendiri.
Kita pernah mempunyai begawan pendidikan yang sukses dengan pola pendidikan berbasis keluarga dan alam, yaitu M. Syafei dan Ki Hajar Dewantara. Kita masih mempunyai banyak kelompok yang mempertahankan pola pendidikan dengan model homeschooling berbasis alam dan keluarga , sebut saja suku anak dalam di pedalaman sumatera, suku badui dan kelompok samin di jawa dan suku dayak di kalimantan yang tetap bertahan hidup ditengah derasnya gempuran idealisme globalisasi. Suku-suku ini mampu mempertahankan nilai-nilai luhur nenek moyang mereka serta mengelola alam dengan kearifan lokal yang mereka miliki, sehingga mereka tidak perlu nongkrong di mall setiap malam atau akhir pekan, memiliki HP seri terbaru yang membuat mereka langsung terkoneksi dengan seluruh dunia.
Dengan kebutuhan dan realitas kehidupan yang berbeda dengan kelompok yang saya sebutkan diatas, saya tidak mengatakan anda harus jalan kaki dari rumah ke kantor atau tidak perlu menyerahkan anak kepada institusi pendidikan yang tersedia. Tapi lebih kepada mengambil sebagian peran keluarga dalam pendidikan, mengajak anak untuk mengenali lebih jauh alam sekitar dan mewariskan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang kita yang sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar anak dan generasi muda kita.
Masih banyak yang ingin kami sampaikan, akan tetapi kami sangat menginginkan originalitas ide dan pemikiran dari kita semua, sehingga kemudian tulisan ini hanyalah sekedar prolog untuk memulai diskusi kita. Mari kita buka pikiran kita untuk berdiskusi dan brainstorming ide-ide tentang pola pendidikan yang pas untuk putra-putri tercinta.

Kegundahan hati seorang pelajar akan dunia pendidikan di negerinya

Sebelumya maaf kepada pihak-pihak yang tersinggung atas adanya esai ini. Esai ini hanya sebagai media untuk berbagi pengalaman dan menambah wawasan kepada anda-anda semua. Terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya untuk berfikir seperti ini, seperti kedua orang tua saya, Ayah Edi, Kak Munas, Kak Abi, Kak Boy dan Kak Dimas. dan Nendra (walaupun kita belum bertemu, saya sudah sangat terinspirasi dengan anda dengan membaca notes dan cerita dari Kak Abi).Note: nama-nama tersebut adalah para tutor Home Schooling Red.

Di suatu lembaga formal yang bernama sekolah, kita sering dikekang oleh sistem pendidikan dan teks buku pelajaran yang mengkotak-kotakkan suatu disiplin ilmu pengetahuan dari pihak yang mengatur pendidikan negeri ini. Mereka lalu menekan kepala sekolah, kepala sekolah menekan guru, dan akhirnya guru melimpahkannya kepada peserta didik dalam hal ini siswa. Para guru kebanyakan mewajibkan kita untuk harus bisa dalam semua hal. Padahal setiap siswa memiliki kesukaan dan keinginan masing-masing. Mereka sebenarnya bisa saja dipaksa untuk bisa mendapatkan nilai-nilai yang tinggi. Tapi dengan demikian mereka akan merasa jenuh dan sangat tertekan. Pada akhirnya para siswa tidak dididik dengan konsep berpendapat secara analitis kritis dan kooperatif, melainkan terpaku dan kaku pada sistem dan buku pelajaran. Padahal sistem pendidikan di negeri kita tercinta ini mengacu pada sistem pendidikan pada tahun 1900an. Sungguh tidak relevan dan tidak pantas untuk zaman milenium seperti sekarang ini.

Umpamakan ada sebuah kotak. Siswa yang bisa untuk menerima suatu ilmu dengan sistem sekarang ini masuk kedalam kelompok dan berada di dalam kotak tersebut. Tetapi untuk lainnya yang tidak bisa dengan sistem sekarang akan merasa stress dan tidak dapat menerima suatu ilmu dengan baik. Akan terasa menyakitkan bagi mereka apabila harus dipaksakan masuk ke dalam kelompok yang berada di dalam kotak tersebut.

Mengacu dengan buku pelajaran pun sebenarnya bukanlah hal yang tepat. Karena untuk mempelajari dan memahami buku pelajaran tidak harus sampai 3 atau 6 tahun, melainkan hanya 3 bulan sampai 1 tahun pada setiap jenjang. Ini tergantung dari kecepatan pemahaman dan pemikiran siswa masing-masing. Pemahaman yang berbeda-beda bukanlah menjadi suatu masalah, karena setiap masing-masing manusia perseorangan memiliki cara belajar dan pemahaman sendiri-sendiri. Yang lebih penting dari buku pelajaran adalah pembangunan karakter seseorang. Pembangunan karakter ini bisa lebih lama daripada hanya mempelajari buku pelajaran. Inilah yang harus ditekankan dan ditanamkan oleh guru-guru kepada siswa. Pernah suatu saat Ayah Edi berbicara mengenai hal ini di suatu radio ternama. Di Australia para guru tidak menekankan anak didiknya untuk belajar mengitung, tetapi mereka lebih ditekankan untuk pembangunan karakter, contohnya mengantri, menyebrang jalan, menolong orang lain. Mereka berkata bahwa sangat sulit untuk menanamkan dan membangun karakter-karakter yang baik kepada anak didiknya dibandingkan dengan mengajari mereka berhitung.

Di sekolah formal, banyak sekali terjadi yang namanya bullying baik fisik maupun mental. MOS atau Masa Orientasi Siswa seharusnya menjadi suatu ajang pengenalan siswa baru oleh para guru serta kakak kelas. Tetapi dalam konteks sekarang ini, MOS menjadi suatu ajang pembalasan dendam kakak kelas terhadap adik kelasnya karena sang senior pernah juga disakiti fisik dan mentalnya. Sang senior berdalih bahwa hal ini adalah agar adik kelas siap untuk menghadapi kerasnya perjuangan belajar di sekolah dan mendidik agar menjadi orang yang tegas. Padahal sesungguhnya adik kelas pasti akan merasa down apabila diberikan shock teraphy dengan "kekerasan" seperti itu. Dan guru-guru sepertinya tidak menanggapi hal itu dengan serius. Mereka juga berdalih dengan alasan yang sama dengan sang senior. Juga dengan LDKS atau Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa. Seharusnya ini menjadi tempat siswa untuk menempa ilmu untuk menjadi pemimpin yang baik, sekalipun nantinya hanya akan menjadi pemimpin keluarga. Tetapi sama saja dengan MOS, "kekerasan" tetap terjadi. Misalnya, disuruh membuat tanda nama yang menurut para siswa sangat sulit untuk dilakukan dalam waktu 3 hari. Dan apabila terjadi kesalahan, hukuman-hukuman yang sebenarnya tidak mendidik justru malah diberikan oleh para senior, seperti menceburkan diri ke dalam lumpur. Apakah ada hubungannya tanda nama yang salah dengan menceburkan diri ke dalam lumpur? Apakah cara mendidik harus dengan "kekerasan" agar siswa menjadi orang yang mandiri dan bertanggungjawab terhadap dirinya? Tentu tidak bukan. Pasti pihak-pihak yang merasa dirugikan, terutama orang tua siswa akan tidak terima dengan hal ini. Tetapi malah ada orang tua "bodoh" yang terima saja anaknya diperlakukan sangat "kejam" oleh para senior dengan dalih yang sama dengan senior maupun para guru. Sungguh hal yang sangat mengerikan sekali.

Sekolah Non Formal dalam hal ini homeschooling adalah suatu pilihan untuk orang-orang yang tidak berada di dalam kotak tersebut, seperti yang telah disebutkan di atas. Dan homechooling dapat dijadikan alternatif untuk mereka yang merasa jenuh dengan cara belajar di sekolah formal dan bukan berarti hanya dijadikan pelarian. Cara belajar di homeschooling juga tidak seperti sekolah formal yang lebih menonjolkan dan mengacu pada nilai. Yang lebih dipentingkan adalah hasil karya siswa seperti esai, pendapat atau argumen, diskusi, portofolio bahkan bisa berupa lagu ataupun hasil kerajian tangan dan lain sebagainya. Ini yang membuat siswa lebih kreatif untuk membuat suatu karya cipta daripada harus mengejar nilai untuk sebuah kata-kata yang sangat berharga buat mereka yaitu "KELULUSAN". Seharusnya pula nilai dalam hal ini Ujian Nasional tidak menjadi acuan untuk kelulusan seseorang. Ujian Nasional bisa menjadi evaluasi bagi para siswa dan guru agar dapat menjadi lebih baik untuk kedepannya. Karena sudah banyak sekali korban dari Ujian Nasional. Misalnya, siswa yang biasa-biasa saja bisa mendapatkan nilai yang tinggi sedangkan siswa yang memiliki prestasi bagus dalam kesehariannya mendapatkan nilai yang anjlok. Sangat miris sekali, tapi inilah realita. Seahrusnya yang bisa menentukan lulus atau tidaknya tergantung dari keseharian para siswa. Jadi setiap sekolah formal atau homeschooling mempunyai independensi untuk bisa menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa. Tetapi sistem yang seperti ini juga harus mempunyai suatu badan yang memayungi dan mengawasi pergerakan setiap lembaga belajar. Ini untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan yang dapat mungkin terjadi, misalnya lulus dengan jalur uang. Belajar di homeschooling juga lebih mengedepankan pembangunan karakter, minat, bakat dan konsistensi seorang siswa. Sebelum masuk kepada pembelajaran, para homeschoolers akan diberikan pengenalan tentang homeschooling selama satu bulan. Di satu bulan pertama itu lebih banyak pembangunan karakter dan treatment atau brain storming bagi para homeschoolers yang pernah merasakan menjadi pelajar di sekolah formal atau pernah memiliki masalah sebelumnya, misalnya bullying. Apakah treatment atau brain storming itu? Kedua istilah ini mempunyai maksud bahwa homeschoolers akan dipacu kerja otak yang kreatif dan diasah kembali cara berfikirnya agar mereka bisa mengikuti homeschooling yang sesungguhnya sehingga ketika mereka membahas sesuatu dengan komperhensif dan mendalam. Di homeschooling juga ditekankan untuk mengenal, memahami, dan mempraktekkan suatu disiplin ilmu yang diminati dan dibutuhkan. Masing-masing pun memiliki minat, bakat dan tingkat konsistensi yang berbeda-beda. Jadi setiap homeschoolers pun berbeda-beda penanganannya, tergantung dari beberapa hal di atas. Pendidik di homeschooling dalam hal ini tutor adalah orang yang dipilih secara selektif, ahli dalam bidangnya, memiliki cara fikir yang visioner, mampu mehamami dan mengerti cara untuk menangani setiap homeschoolers. Jadi homeschoolers lebih mudah menerima suatu disiplin ilmu tanpa harus merasakan stress atau jenuh yang berlebihan. Bukannya memojokkan dan menyalahkan sekolah formal hanya saja kelebihan yang disediakan sekolah formal sangat sedikit. Misalnya kita lebih banyak mengenal dan dapat bersosialisasi dengan teman-teman, belajar disiplin karena diwajibkan untuk masuk pada jam 06.30, dapat menampung banyak peserta didik dan lain-lain. Tetapi para siswa kebanyakan selalu tertekan dan tidak merasakan kenikmatan belajar. Di homeschooling pun juga tidak sempurna. Terkadang para homeschoolers kesulitan untuk bersosialisasi karena jarang bertemu dengan teman-temannya. Tetapi ini tidak menjadi persoalan yang serius apabila homeschoolers memiliki teman, relasi atau apaupun itu di luar sekolah. Jadi untuk saat ini pilihan untuk homeschooling adalah pilihan yang lebih baik karena para siswa lebih fokus terhadap apa yang diiniginkan dan di butuhkan serta tidak tertekan dengan penilaian dengan angka-angka "sesat".

Semoga pembicaraan presiden kepada menteri pendidikan yang baru akan direalisasikan dan menjadi suatu sistem pendidikan di negeri yang sekali lagi sangat kita cintai ini. Beliau dalam hal ini presiden berkata dan berpesan bahwa penanaman karakter harus dikedepankan dalam sistem pendidikan negeri ini. Tentunya sangat diharapkan sekali agar sistem pendidikan harus segera diubah sehingga seluruh siswa yang ada di Indonesia tidak menjadi generalis melainkan spesialis di bidangnya masing-masing. Lebih cepat lebih baik, karena pada tahun 2010 akan dimulai percobaan pasar bebas di seluruh dunia. Para pemuda dan pemudi Indonesia harus berjuang menghadapi orang-orang asing. Akankah mereka menjadi tuan di negerinya sendiri? Anda bisa menjawabnya.?

Cukup sekian untuk esai yang mungkin terlampau panjang ini. Mohon maaf apabila ada kekurangan terutama bahasa yang saya gunakan terlalu berputar-putar. Terimakasih banyak kepada yang ingin meluangkan waktunya untuk membaca esai ini

Di tulis oleh Nurrahman Andrianto, homeschoolers Qindy Academy

Homeschooling bukan " aliran sesat" dan perlawanan terhadap seklah formal

Pada sebuah sore aku terlibat dalam sebuah pembicaraan hangat dengan seorang kawan yang sehari-harinya mengajar di salah satu sekolah favorit di bilangan jakarta selatan. Kami membahas tentang carut-marutnya kondisi pendidikan di ibu pertiwi tercinta. Namun di akhir perbincangan, kami dihadapkan pada sebuah perdebatan serius seputar praktek kegiatan homeschooling. Sebagai seorang anak bangsa yang dibesarkan dalam lingkungan sekolah formal dan setelah dewasa menjadi guru disekolah formal, kawanku melihat homeschooling adalah sebuah jalur pendidikan yang menyimpang dan merupakan perlawanan terhadap sekolah formal.

Aku senyum-senyum saja mendengar pernyataan yang disampaikan sang kawan. Pernyataan itu adalah pernyataan yang kesekian puluh yang aku dengar terkait pandangan negatif terhadap homeschooling. Sebagai orang yang bergelut di dunia pendidikan formal dan non formal aku mencoba membuka hati dan pikiran sang kawan, meski pada akhirnya beliau tetap bersikukuh bahwa homeschooling adalah aliran sesat dan melawan keberadaan sekolah formal.
Benarkah demikian? mari kita renungkan sejenak......

Teman-teman coba bayangkan, jika pada suatu siang teman-teman merasa kelaparan, dan kebetulan berada si sebuah food court, taman jajan, pujasera atau apapun istilahnya untuk menunjukan pusat berbagai macam tempat makan, saya percaya teman-teman akan dihadapkan dengan berbagai pilihan, mulai dari warung padang yang menyajikan rendang khas minangkabau, restoran manado dengan sambal dabu-dabunya yang maknyos atau rumah makan sunda dengan gurame bakar dan sayur asamnya. Tidak ada kewajiban bukan untuk memilih warung padang atau warung manado. Sebagai bagian dari hak azazi manusia maka teman-teman boleh memilih tempat makan sesuai selera.
Begitu juga dengan pendidikan.

Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah melalui depdiknas menggagas program wajib belajar 9 tahun,ingat ya WAAJIB BELAJAR bukan WAJIB SEKOLAH loh!!!! Program ini ditujukan untuk mencipatkan manusia indonesia yang erilmu, berakhlak dan beriman kepada tuhan YME (sepertinya belum tercapai tujuan mulia ini). Untuk mendukung pelaksanaan wajib belajar ini, DEPDIKNAS mempunyai dua ujung tombak yaitu DITJEN MANDIKDASMEN (manajemen pendidikan dasara dan menengah) dengan sekolah formalnya SD-SMP dan DITJEN PNFI (pendidikan Non Formal dan Informal) dengan pendidikan Luar sekolahnya seperti PKBM dan Homeschooling. Jadi Homeschooling ini adalah barang legal, bukan aliran sesat dan bukan perlawanan terhadap sekolah formal.

Adanya kegiatan homeschooling, seyogyanya disambut positif oleh masayarakat. Kita perlu cermati bahwasanya pendidikan formal belum bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat sepert anak-anak dilokasi terpencil, anak-anak yang mempunyai keterbatasan serta anak-anak bangsa yang sudah mempunyai pekerjaan profesional seperti artis, model dan atlet. Bagaimana nasib anak-anak ini sekiranya tidak ada jalur pendidikan solusif yang bisa membantu pendidikan mereka, bukankah sebagai anak-anak bangsa mereka juga mempunyai hak untuk mendapat pendidikan yang layak?

lalu kenapa kemudian muncul pandangan-pandangan bahwa homeschooling adalah "aliran pendidikan yang sesat" dan bentuk perlawanan terhadap sekolah formal?
Jawabanya sangat sederhana, hal ini terjaadi karena sebagian masyarakat kita terbiasa dengan pola pikir yang sama, sedangkan homeschooling adalah model pendidikan yang "out of the box" kemudian, para siswa yang mengalami hambatan dan gangguan di jalur formal memilih homeschooling sebagai jalan hidup mereka.

Lanjutan

Benar sekali bahwa homeschooling adalah sebentuk upaya mengembalikan peran keluarga dalam pendidikan, atau mengembalikan pendidikan untuk dikelola keluarga. Namun sayang sekali pola seperti ini tidak mungkin cocok untuk semua keluarga, karena sebagian besar ayah-bunda di jaman sekarang ini mempunyia rutinitas pekerjaan yang luar biasa. Sehingga jalur pendidikan formal dengan segala kelebihan dan kekurangannya dijadikan alternatif utama untuk mendidik anak-anak bangsa. Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwasanya tidak semua anak cocok dengan sekolah formal. Dan tidak semua anak pula mempunyai akses yang mudah untuk sekolah formal (misalnya anak-anak di wilayah terpencil atau anak-anak yang jaman di jalanan). Jadilah homeschooling memfasilitasi anak-anak yang tidak mendapat akses ke sekolah formal dan mempunyai ketidak cocokan terhadap sekolah formal.

**************************
Ketika membaca tulisan tentang homeschooling kemaren, melalui japri ada teman yang menanya lebih lanjut mengenai Homeschooling. Oh Iya, aku baru sadar kalau aku lupa untuk sharing mengenai definisi homeschooling untuk menyamakan persepsi penulis dan teman-teman yang tertarik membaca homeschooling.

Artis, biaya mahal, model pendidikan yang lagi ngetrend, mungkin sederet opini yang mampir di benak kita ketika mendengar istilah homeschooling. Tidak bisa disalahkan juga sih kalau sebagian besar diantara kita mempunyai pandangan seperti itu. Toh memang makna dan arti homeschooling yang sesungguhnya belum tersosialisasikan dengan baik, sehingga pada akhirnya ada dua pandangan keliru yang beredar di masyarakat, yaitu
• Homeschooling adalah jenis pendidikan untuk kalangan selebritis dan anak-anak usia sekolah formal dengan tingkat kesibukan yang tinggi.
• Homeschooling adalah pendidikan alternatif bagi generasi bangsa yang tidak diterima di sekolah formal.
Sebenarnya tidak demikian, homeschooling lebih dari sekedar gaya-gayaan, Homeschooling adalah model pendidikan yang secara sadar teratur dan sistematis dilaksanakan oleh anak, orang tua,keluarga atau komunitas dimana proses pembelajaran bisa berlangsung dalam suasana yang lebih menyenangkan serta mengakomodasi keinginan anak.

Homeschooling adalah adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dimana proses pembelajaran itu dapat berlangsung secara kondusif dengan tujuan dapat mengasah potensi, bakat dan minat masing-masing anak. Dengan Homeschooling akan tercipta situasi yang nyaman dan aman sehingga anak tidak mendapat tekanan dan menjadikan proses pembelajaran menjadi sebuah beban.
(sumber : Buku Panduan Komunitas Sekolah Rumah, DEPDIKNAS 2006)

Homeschooling adalah praktek pembelajaran yang dilaksanakan tanpa mengenal ruang, batas dan waktu jadi bisa dilaksanakan kapan saja dan dimana saja. Jadi homeschooling adalah gaya belajar yang menjadi ciri keseharian keluarga.
(sumber : the Everything Homeschooling Book, Sherri Linsenbach,2003)

Homeschooling yang bisa disebut juga home education adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan di rumah oleh orang tua atau tutor.
(Sumber : Wikipedia)

Homeschooling adalah model pendidikan alternatif yang dipilih oleh anak bangsa yang mempunyai keterbatasan akses terhadap sekolah formal atau tidak cocok dengan Sistem sekolah formal. Proses pembelajaran yang selama ini dilaksanakan oleh sekolah dan terkungkung dalam waktu dan ruang kelas akan dikelola oleh keluarga (anak dan keluarga) tanpa batas ruang dan waktu.
(Definisi Kak Munas)

Dalam perkembangannya di tanah air, homeschooling dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Homeschooling Tunggal
Homeschooling Tunggal adalah homescholing yang dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lainnya karena hal tertentu atau karena lokasi yang berjauhan.
Nah, misalnya satu anak melaksanakan praktek homeschooling sendirian di rumah tanpa bergabung denagn teman-teman yang lain, kamu dikatakan melaksanakan homeschooling tunggal.
2. Homeschooling Majemuk
Homeschooling majemuk adalah praktek homeschooling yang dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga. Misalnya saja seorang anak bergabung dengan tetangga-tetangga sebelah melaksanakan praktek homeschooling, maka dikatakan mereka melaksanakan homeschooling majemuk.
3. Homeschooling Komunitas
Homeschooling Komunitas adalah praktek homeschooling yang diselenggarakan oleh institusis atau komunitas tertentu, dimana kurikulum, jadwal belajar dan bahan belajar sudah tersusun secara sistematis.

Ada banyak alasan kenapa anak-anak bangsa memilih homeschooling, diantaranya ;
1. Kurikulum dan jam belajar di sekolah formal yang terlalu padat
2. Alasan kesehatan, anak dengan riwayat penyakitnya harus istirahat banyak di rumah, dan biasaanya sekolah tidak memberi toleransi yang lama untuk waktu istirahat.
3. Terhindar dari penyakit sosial seperti Bullying, narkoba dan free sex.
4. Sudah memiliki kesibukan yang menyita waktu seperti atlet, model dan artis.
5. Supaya lebih fokus dalam mengasah minat dan bakat.
6. Orang tua ingin menanamkan nilai agama dan moral yang lebih, mengingat sebagian sekolah belum berhasil dalam membina akhlak dan moral generasi bangsa
7. Trauma dengan sekolah.
8. Akses yang susah untuk ke sekolah.